Saturday, November 15, 2008

Pemerintah Memberikan Gelar Pahlawan Bagi Bung Tomo


SETIAP 10 November, bangsa Indonesia memperingati Hari Pahlawan. Patut disyukuri, menjelang akhir pemerintahannya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan gelar pahlawan nasional kepada Bung Tomo. Sungguh penantian yang panjang. Selama 27 tahun sejak meninggal, ikon pertempuran 10 November 1945 itu terlewat dari daftar pahlawan nasional.

Entah mengapa, begitu sulit bagi pemerintah sejak kepemimpinan Soeharto hingga SBY menetapkan Bung Tomo sebagai pahlawan. Padahal, di benak publik, semua meyakini Bung Tomo pantas dinobatkan sebagai pahlawan nasional.

Nama Bung Tomo selalu terkait dengan Hari Pahlawan. Sebab, Bung Tomo merupakan salah seorang pejuang yang dikenal saat pertempuran dahsyat 10 November melawan tentara sekutu dan NICA. Peristiwa itu bermula dari datangnya 6.000 personel sekutu pada 25 Oktober di Surabaya yang dipimpin Brigadir Jenderal Mallaby. Kedatangan pasukan sekutu itu diboncengi Belanda yang mengirimkan pasukan NICA. Tujuannya, ingin kembali menguasai Indonesia.

Akal bulus Belanda itu diketahui pihak Indonesia. Para pejuang pun marah dan terjadilah pertempuran 30 Oktober di Surabaya. Mallaby tewas dalam pertempuran tersebut. Pengganti Mallaby, Mayor Jenderal Mansergh, memberi deadline hingga 10 November kepada Indonesia untuk menyerah. Peringatan itu disambut perlawanan besar-besaran pada 10 November 1945. Ribuan pejuang gugur di medan pertempuran.

Sutomo atau yang dikenal dengan Bung Tomo merupakan salah seorang tokoh sentral dalam pertempuran tersebut. Pria asal Blauran, Surabaya, yang lahir 3 Oktober 1920 tersebut dikenal dengan semboyan rawe-rawe rantas malang-malang tuntas yang membakar semangat para pejuang saat itu. Peristiwa itu diajarkan dalam buku sejarah resmi dalam kurikulum Depdiknas.

Bung Tomo meninggal pada 7 Oktober 1981. Butuh waktu 27 tahun bagi pemerintah untuk menetapkan Bung Tomo sebagai pahlawan nasional. Istana Kepresidenan maupun Departemen Sosial yang mengusulkan pahlawan nasional tidak pernah bisa menjelaskan mengapa nama Bung Tomo selalu terlewat setiap pemerintah mengumumkan nama pahlawan nasional baru pada peringatan Hari Pahlawan.

Penetapan seseorang menjadi pahlawan diatur dalam UU No 33 Prps Tahun 1964 tentang Penetapan Penghargaan dan Pembinaan terhadap Pahlawan. Dalam UU itu juga disebutkan, pahlawan nasional adalah gelar yang diberikan oleh pemerintah Republik Indonesia kepada seorang warga bangsa/warga negara Indonesia yang semasa hidupnya melakukan tindak kepahlawanan dan berjasa sangat luar biasa bagi kepentingan bangsa dan negara.

Sedangkan tindak kepahlawanan adalah perbuatan yang dilakukan secara sadar dan mengandung risiko bahkan mengorbankan jiwa dan raga dalam perjuangan mencapai cita-cita luhur bangsa, yakni kemerdekaan dan kedaulatan menuju masyarakat adil dan makmur, baik melalui perjuangan bersenjata/fisik maupun perjuangan nonfisik, antara lain di bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya.

Ada pun nilai kepahlawanan adalah suatu sikap dan perilaku perjuangan yang mempunyai mutu dan jasa pengabdian serta pengorbanan terhadap bangsa dan negara. Bung Tomo seharusnya telah memenuhi tiga hal tersebut sejak dulu.

Dalam aturan di Depsos disebutkan, kriteria seseorang menjadi pahlawan adalah WNI yang telah meninggal dan semasa hidupnya memimpin serta melakukan perjuangan bersenjata atau perjuangan politik atau perjuangan dalam bidang lain untuk mencapai, merebut, mempertahankan, atau mengisi kemerdekaan. Bung Tomo juga memenuhi kriteria tersebut.

Kriteria berikutnya, pengabdian dan perjuangan yang dilakukan berlangsung hampir sepanjang hidupnya (tidak sesaat) dan melebihi tugas yang diemban. Perjuangan yang dilakukan mempunyai jangkauan luas dan berdampak nasional, memiliki konsistensi jiwa dan semangat kebangsaan nasionalisme yang tinggi, memiliki akhlak dan moral yang tinggi, serta tidak menyerah pada lawan dalam perjuangannya. Kriteria tersebut juga dipenuhi oleh Bung Tomo.

Dalam UU tersebut, proses pengajuan pahlawan harus dilakukan pemerintah daerah dengan gubernur sebagai ketua Badan Pembinaan Pahlawan Daerah (BPPD). Selanjutnya diajukan ke Badan Pembinaan Pahlawan Pusat (BPPP) yang diketuai menteri sosial. Baru setelah itu diajukan ke presiden. Proses pengusulan Bung Tomo pernah dilakukan Pemkot Surabaya dan Pemprov Jatim.

Ada syarat lain dalam usul pemberian gelar pahlawan, yakni harus ada bukti tanda kehormatan yang pernah diterima calon pahlawan tersebut. Dalam hal ini, Bung Tomo pernah menerima penghargaan Bintang Mahaputra Utama pada 1995 dari Presiden Soeharto. Syarat lain, catatan dan pandangan positif dari masyarakat tentang calon pahlawan tersebut. Diperlukan juga foto atau gambar dokumentasi yang menjadi bukti perjuangan calon pahlawan nasional. Nama calon pahlawan juga harus diabadikan melalui sarana monumental, sehingga dikenal masyarakat. Bung Tomo memenuhi semua kriteria itu.

Foto Bung Tomo terpampang di buku pelajaran sejarah perjuangan bangsa. Masyarakat juga telah mengenal, bahkan sebagian mengira Bung Tomo sudah resmi menjadi pahlawan nasional. Pada zaman Orde Lama, Bung Tomo sebenarnya cukup dekat dengan Bung Karno. Namun, kedekatan itu tidak bertahan lama karena Bung Tomo kerap mengkritik Bung Karno. Mungkin kisah Bung karno dan Bung Tomo yang pecah kongsi itu ikut mendasari pemerintahan era Megawati Soekarnoputri tidak meluluskan Bung Tomo sebagai pahlawan nasional.

Pada zaman Orde Baru, Bung Tomo kerap mengkritik keras kebijakan Soeharto. Akibatnya, pada 1978, Bung Tomo sempat ditahan selama setahun. Akibat kecewa kepada Soeharto, sebelum meninggal, Bung Tomo memberi wasiat kepada istri dan anak-anaknya untuk tidak dimakamkan di taman makam pahlawan. Bung Tomo pun akhirnya dimakamkan di tempat pemakaman umum Ngagel, Surabaya. Mungkin runtutan peristiwa itulah yang membuat Soeharto enggan memberikan gelar pahlawan nasional kepada Bung Tomo.

Habibie dan Gus Dur saat memimpin bangsa ini tak sempat pula menganugerahkan gelar pahlawan kepada Bung Tomo. Bisa dimaklumi karena saat itu merupakan masa transisi. Keduanya juga hanya menjabat dalam waktu singkat.

Pada era SBY, nama Bung Tomo juga cukup sulit masuk istana. Baru pada tahun keempat kepemimpinannya, SBY luluh. Itu pun karena tahun sebelumnya SBY menerima kritik karena empat pahlawan baru yang diumumkan pada 9 November 2007 berasal dari kalangan militer. Bahkan, sejumlah pahlawan yang ditetapkan SBY menuai kontroversi. Mudah-mudahan saja penetapan Bung Tomo sebagai pahlawan nasional bukan bagian dari pencitraan bagi SBY menyongsong Pemilihan Umum 2009 yang tinggal menghitung hari.

3 comments:

tarix jabrix said...

keren!!!

Doni Gema Ramadhan said...

ahhh.....



yg bnr luw....


kykna luw sndr aja, blmm bs brhnti ngroko !!!!



nyuruh org tuk brenti,,




"TALK TO YOUR HAND GUY"





trus stu lg,, !!!!


jgn ska maenin cw dUnkkk !!

ingat karma ya boy !!!

pLenD bROtHeR FaMiLy said...

SEHARUS NA GELAR PAHLAWAN SUDAH MELEKAT DARI DULU d'BUNG TOMO !!!!!